Wednesday, February 2, 2011

Kue Bakul Menjadi Alat Komunikasi di Hari Raya Imlek

Kue bakul atau kue keranjang, merupakan panganan istimewa menyambut Imlek. Kue paduan antara pulut dan ketan dengan gula aren itu, dibuat satu tahun sekali, ketika etnis Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek.
Kue bakul itu memiliki sejarahnya sendiri, seperti dituturkan Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Indonesia (PMTSI) Kota Tebingtinggi, Bambang Santoso. Dulu di negeri China, saat masyarakatnya berada dalam cengkeraman penjajahan, rakyat tak bisa berkomunikasi satu dengan lainnya.

Bahkan, untuk berbicara dengan tetangga saja, hal itu tidak diperbolehkan oleh penguasa penjajah. Kondisi demikian memunculkan ide di tengah warga untuk membangun media yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi.

Salah satu ide itu dengan membuat kue yang bisa diberikan kepada tetangga dan siapa saja, tepat di hari raya Imlek. Singkat cerita, dicarilah kue apa yang bisa mewakili aspirasi warga dalam menyuarakan ketulusan hati mereka.

Para tetua etnis Tionghoa, kemudian menciptakan kue yang dibuat dengan persyaratan ketat yang dalam prosesnya mengandung nilai-nilai luhur tentang kekerabatan, kebersamaan dan keikhlasan.

Setelah kue selesai, setiap warga pun saling memberikan pada siapa saja, sambil menyelipkan sepucuk surat untuk saling berkomunikasi. “Dulu pemberian kue bakul ini selalu menyelipkan sepucuk surat pesan. Tapi sekarang sudah tak ada lagi,” kata tokoh muda Tionghoa Tebingtinggi itu.

Proses pembuatan kue bakul juga sangat unik, terkadang di luar logika. Subagio alias Giok,  warga  Bandar Sono, Kecamatan Padang Hulu, banyak tahu soal pembuatan kue bakul itu karena mertuanya etnis Tionghoa.

Suami dari Tan Me Khu alias Siti Aisyah itu, mengisahkan dulunya persiapan untuk membuat kue bakul sudah dilakukan tiga bulan sebelum hari raya Imlek. Bermula dari memilih bulir pulut yang baik. Para ibu, setiap hari harus memilih bulir pulut yang bagus dari yang ada.

“Caranya dipisahkan satu-satu. Jangan sampai ada bulir pulut yang sompel atau patah. Kalau ada, pasti kue tak jadi,” cerita Giok. Setelah proses memilih bulir pulut selesai, dilanjutkan dengan menumbuk dan mengayak tepung pulut.

Selama proses itu berlangsung, pulut pilihan itu tak boleh bercampur dengan benda apapun. Sehingga prosesnya dilakukan steril dan tak bisa dilakukan sembarang orang. “Perempuan yang halangan tak bisa membuatnya,” tegas Giok yang lama tinggal bersama mertuanya, tadi malam.

Demikian juga dengan gula aren (merah), harus berasal dari sumber yang murni. Karena itu, biasanya warga Tionghoa yang hendak membuat kue bakul, harus memesan dulu langsung kepada pembuat gula merah, agar menjaga keasliannya.

Setelah semua bahan diperoleh, proses pembuatannya juga sangat rumit dan hati-hati. Bermula dari perasaan pembuat kue bakul. Si pembuat sudah harus menjaga hatinya dari penyakit hati, seperti iri, dengki dan serakah.

Selanjutnya, dengan memakai pakain bersih, si pembuat akan masuk ke kamar khusus yang tak boleh di masuki orang lain, walau keluarga sekali pun. Proses memasak kue bulan biasanya berlangsung selama 12 jam non stop.

Saat proses memasak, si pembuat harus mengisolasi dalam kamar. “Selama itu, tak boleh ada yang menanya dia, apalagi harus menanya apakah kue sudah masak atau belum,” terang Giok.

Jika sampai itu dilanggar, maka kue bakul tak akan jadi. Kue bakul yang tak jadi, biasanya tak bisa mengeras dan tetap encer. Tapi, jika semua persyaratan terpenuhi, kue bakul itu pun bisa selesai dibuat.

“Kue bakul itu sendiri menyimpan nilai-nilai luhur, terang pria Jawa yang mengislamkan istrinya saat menikah. Mengambil penuturan mertuanya, kue bakul berbahan dasar pulut dan gula aren punya nilai filosofis tinggi. Pulut itu mengandung zat perekat, sedangkan gula zat pemanis,” terang Giok.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home